Menurut salah satu masyarakat Jatimulyo yang enggan namanya di sebut bahwa kebanyakan masyarkay mengeluhkan lataran besarnya biaya kepengurusan sertifikat tanah melalui program PTSL yang melebihi biaya yang sudah di tentukan.
"Ya di desa kami itu biaya untuk ngurus PTSL ini mencapai Rp900 ribu, yang terdiri dari Rp400 ribu untuk biaya format yang dinyatakan setor ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan juga ada Rp500 ribu untuk biaya proses pengesahan Surat sporadik," ujar warga yang mewanti-wanti namanya tidak di sebut , Rabu (23/03/2022).
Diungkapkanya jika kepengurusan program yang dulunya disebut program Prona yang kini diubah menjadi PTSL tahun anggaran (TA) 2022 di Desa Jatimulyo Kecamatan Jati Agung diduga ada pungutan liar (Pungli) yang tidak jelas peruntukannyan dengan adanya uang tambahan sebesar Rp 500 tersebut.
Dirinya juga menjelaskan untuk kuota PTSL Desa Jatimulyo Kecamatan Jatiagung sebanyak 1500 namun belakangan lurah menyatakan hanya 1000 PTSL. Dana Rp 400 ribu kata dia, diketahui sudah sesuai dengan peraturan bupati yakni Rp200 ribu setor ke Pokmas dan Rp200 ribu ke BPN. Sementara, yang tidak jelas adalah dana Rp500 ribu. Dimana alasan pihak kelurahan untuk biaya pengukuran lahan dan biaya pengesahan sporadik.
"Anehnya biaya Rp500 ribu ini diduga tanpa ada persetujuan dan pengesahan dari BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Sehingga banyak warga desa yang mengeluh akan besaran biaya tersebut. Kalikan saja pak kalau 500x 1000 PTSL, sudah berapa jumlah uangnya, kemana lari nya dan untuk apa kejelasan biaya tersebut," keluh dia.
Saat di tanua untuk biaya Rp 500 ribu tersebut disetor kemana ? Dirinya menjelaskan bahwa dana tersebuy di setor kepihak RT masing -masing wilayah.
"Warga sotor ke RT dan RT ke kelurahan. Yang jelas kami warga ini merasa berat juga kalau terlalu banyak yang harus di bayarkan," ungkapnya.
Sementara saat di konfirmasi selaku Kades Desa Jatimulyo Sumardi, menjelaskan jika kuota PTSL di desanya sebanyak 1000 sertifikat. Nah, untuk biaya tidak ada patokan besarannya. Bahkan ada warga yang di gratiskan jika memang tidak mampu.
"Tidak ada yang kita beri patokan harus Rp 500 ribu, ada yang bayar 300 ada juga yang memberi 200 ribu, tidak ada harus Rp500 ribu. Bahkan ada yang kita gratiskan, karena memang tidak mampu,"kata Sumardi.
Namun lanjut dia untuk biaya yang Rp 400 ribu merupakan sudah kesepakatan. Karena rata-rata warga hanya memiliki surat sporadik dan masih atas nama pemilik lama dan kronologi tanah atas nama pembeli.
"Kalau sporadik kan dari desa yang mengeluarkannya. Desa tidak mematok biaya Rp500 atau Rp300 ribu. Biaya ini semua rinciannya untuk biaya pengukuran, biaya untuk kepala Dusun dan RT-RT dan para saksi saksi dan dokumentasi. Supaya jangan ada kelebihan tanah dan batas-batas diketahui secara jelas," jelasnya.
"Kita kan Nyuruh RT-RT dan harus turun ke bawah ke lapangan, kita ada biaya materai nya juga, gak mungkin pak kita nyuruh orang masuk-masuk sawah, pohon-pohon bambu, ngukuran tanah orang ngak ada biayanya," kata Yunus selaku setap desa menambahkan.
Saat disinggung terkait Kebijakan untuk memungut biaya Rp500 ribu tersebut apakah sudah melalui rapat dengan BPD atau aparatur Desa lainnya dan apakah ada persetujuan warga? Sumardi menegaskan bahwa hal ini sudah ada kesepakatan bersama dari pihak BPD.
"Ya terkait maslah ini kita sudah ada kesepakatan dari BPD dan melalui rapat musyawarah desa. Yang jelas dana itu sifatnya tidak wajib, jikakalau sudah ada dan lengkap berkasnya bisa serahkan ken Fokmas, tidak perlu proses sporadik," pungkasnya (*/ydn).
0 Komentar